Merehab Bengkel Guru

Prolog Edisi 12
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bengkel” memiliki arti: 1. tempat memperbaiki mobil, sepeda, dan sebagainya, 2. pabrik kecil: tempat tukang-tukang bekerja, 3. tempat berlatih sandiwara.
Dari ketiga arti yang dimiliki kata “bengkel”, saya sama sekali tidak bisa menangkap benang merah antara KKG yang sering dikatakan sebagai “bengkel dari para guru”, dengan makna kata dari bengkel itu sendiri. Karena saya yakin, guru-guru tidak akan mau diri mereka disamakan dengan mobil atau sepeda. Para guru saya pikir juga bukan seorang tukang, karena guru adalah sosok pekerja professional yang memiliki inovasi dan kreativitas di dalam mengajar. Tidak seperti tukang yang bekerja sesuai dengan pola-pola yang telah ada. Dan KKG bukan panggung sandiwara bukan?
Tapi entah kenapa, guru-guru rela KKG disebut bengkelnya para guru. Belum pernah ada seorang pun yang mempermasalahkan penggunaan istilah ini, meski sebenarnya tidak sesuai dan cenderung merendahkan citra guru. Karena guru-guru rela KKG disebut bengkelnya para guru, maka sayapun juga menggunakan istilah “merehab bengkel guru” untuk judul tulisan ini.
Prolog dari TAlenta ini sebenarnya bukan untuk mempermasalahkan istilah “bengkel”. Tapi untuk membahas peran KKG sebagai forum guru dalam beraktifitas dan bertukar pikiran terkait dengan proses pembelajaran. Sebagaimana kita ketahui bersama, jika KKG diberdayakan secara optimal, guru-guru akan bisa memetik manfaat yang besar untuk peningkatan kualitas KBM. Karena dari forum tersebut guru-guru dapat saling belajar, saling asah-asih, dan asuh, dan saling mengadopsi kelebihan-kelebihan dan kompetensi yang dimiliki guru lain dari lembaga sekolah lain untuk peningkatan kualitas pembelajaran yang mereka lakukan.
Jika KKG dioptimalkan, maka akan terbentuk guru-guru yang bermutu, yakni guru-guru yang memiliki: (1) Kemampuan akademis yang kuat tentang materi yang diajarkan, (2) Ketrampilan mengajar, terutama komunikasi dengan peserta didik, (3) Ketrampil menggunakan media pembelajaran, (4) Penguasaan managemen kelas, (5) Pengetahuan dan penggunaan berbagai macam tekhnik penilaian, (6) Ketrampilan sosial yang diperlukan untuk bekerja dengan sejawat, orang tua/wali murid, dan masyarakat, (7) Pengembangan profesi berkelanjutan selama bertugas untuk mendukung pengembangan karir, dan (8) Memiliki sistem pemantauan dan evaluasi yang baik untuk menyediakan umpan balik yang memadai dan tepat waktu bagi pengembangan mutu guru secara berkelanjutan.
Tapi apa daya gugus-gugus yang ada selama ini masih belum bisa berfungsi sebagaimana apa yang diharapkan. Pertemuan rutin sebulan sekali memang selalu dilakukan. Hanya saja pembicaraan dalam pertemuan tidak menyentuh pada hal yang substansial, tidak terfokus pada pembelajaran. Guru-guru cenderung membicarakan persoalan lain, atau bahkan yang ironis, masih ada guru-guru yang lebih terkosentrasi pada arisan gugus daripada persoalan pembelajaran. Dampaknya, kita terpuruk pada pelaksanaan UASBN beberapa waktu yang lalu.
Kita memang tidak bisa menyalahkan guru-guru, jika KKG selama ini hanya dijadikan sebagai tempat kangen-kangenan, sebagai tempat arisan, atau tempat rasan-rasan. KKG kurang dapat memberikan fungsi yang optimal disebabkan berbagai keterbatasan, beberapa diantaranya adalah: kurangnya sarana-prasarana, minimnya narasumber yang kompeten, kurang atau bahkan tidak adanya sarana pembelajaran dan sarana diskusi, serta berbagai persoalan lain yang kompleks.
Program Bermutu menjawab berbagai persoalan yang kompleks itu. Bukan hanya melalui teori-teori, dan sejumlah juklak serta juknis, tapi diiringi pula dengan kucuran dana senilai Rp. 25 juta untuk masing-masing gugus.
Ibarat mobil jika KKG tetap dipandang sebagai bengkel para guru, program-program kerja yang diusung setiap KKG kini telah diisi dengan bensin (dana). Ketua, pengurus, serta anggota KKG kini tinggal mengendarai mobil tersebut, tinggal menjalankan program-program yang ada tanpa dipusingkan oleh dana.
Persoalannya hanya berpulang dari diri masing-masing, apakah mobil itu akan dibawa ke tempat tujuan, atau dipakai untuk jalan-jalan tanpa peduli dengan arah yang ditempuh. Apakah program-program yang tertuang dalam proposal benar-benar dilaksanakan, dan diimplementasikan dalam proses pembelajaran, atau hanya dibiarkan dalam bentuk tulisan.
Semua berpulang pada gugus masing-masing, pada pribadi ketua, pengurus, dan anggota KKG masing-masing. Tapi ingat, setiap kebijakan selalu ada yang memonitor dan mengevaluasi. Setiap perbuatan harus selalu dipertanggungjawabkan.
“Tenang saja. Bukan sesuatu yang sulit untuk mengelabui Tim Monev.”
Mungkin benar. Tapi jangan lupa, Allah SWT selalu memonitor dan mengevaluasi apa yang kita perbuat. Dan pada saatnya ini Allah juga menuntut pertanggungjawaban dari perbuatan kita!


0 komentar:

Post a Comment